Wednesday, 3 December 2014

Kada Usah Bahuruf "k"

Tidak perlu huruf ‘k’  pada akhiran beberapa kata bahasa Banjar
ini adalah pendapat ulun pribadi, tidak ada dasar teorinya ataupun referensi kamus bahasa dari para pakar bahasa Banjar, atau sudah pernah ada yang membahas ini sebelumnya.
menyikapi bahasa tulis dari urang Banjar yang ada di beberapa forum internet, ulun pribadi sering merasa geli apabila melihat bahasa tulis ini.
contohnya adalah ditulisnya huruf ‘k’ pada akhir beberapa kata bahasa Banjar, misal:
kadak  = kada
kawak  = kawa
kaluak = kalua
pinanduk = pinandu
bagawik = bagawi
kita urang Banjar bukan seperti beberapa suku di Indonesia yang tidak bisa mengucapkan huruf ‘k’ pada akhiran kata. misal suku Jawa mengucapkan “bak mandi” akan menjadi “ba’ mandi”
kita urang Banjar mengucapkan “bak mandi” juga tetap “bak mandi”, sehingga disinilah letak kelucuan bagi saya pribadi apabila membaca kata seperti “kadak, kawak, dan sejenisnya” sebab ulun akan tetap membacanya sebagai “kadak” atau “kawak” dan di daerah Banjarmasin sini seingat umur ulun belum pernah mendengar kawan sekampung berbahasa lisan seperti itu.
kalo sekilas terdengar saat urang Banjar mengucapkan “kada” seperti “kada’ ” mungkin itu sebabnya orang beranggapan bahwa apabila dijadikan bahasa tulis menjadi “kadak”. Tapi dalam pikiran ulun tidak pernah terpikirkan adanya huruf “k” atau tanda ” ‘ ” itu dalam penulisannya.
sebabnya ya itu tadi, kita urang Banjar lidahnya mampu mengucapkan huruf ‘k’ pada akhir kata sehingga apabila ada huruf itu maka penyebutannya pun akan menjadi seperti itu.
sekarang kita uji konsistensi tulisan kata dalam bahasa Banjar apabila kita tetap menuliskan huruf ‘k’ ini pada beberapa kata, contoh :
‘kujuk-kujuk’ apakah kita akan menyebutkannya menjadi kuju-kuju
‘juluk’ apakah kita akan akan menyebutkannya menjadi julu
‘santuk’ apakah kita akan menyebutkannya menjadi santu
‘rancak’ apakah kita akan menyebutkannya menjadi ranca
‘dangsanak’ apakah kita akan menyebutkannya menjadi dangsana
‘handak’ apakah kita akan menyebutkannya menjadi handa
dan masih banyak contoh lainnya, sehingga dirasa tidak konsisten apabila kata “kada” atau “kawa” dituliskan “kadak” atau “kawak” dibaca menjadi “kada” atau “kawa”.
jadi menurut ulun dalam kata bahasa Banjar apa yang ditulis sama dengan yang diucapkan.
demikian sekilas pendapat ulun untuk gambaran bagi kawan-kawan yang memakai huruf ‘k’ itu dalam penulisan bahasa Banjar semoga bisa ikut merenunginya.

Kada Ulun Biarakan Budaya Banjar Hilang di Dunia !!

Sumber : http://kerajaanbanjar.wordpress.com

Tuesday, 2 December 2014

Bahasa Banjar

Bagi teman-teman yang kebetulan singgah di blog ini kemudian menemukan beberapa kalimat di kolom komentar yang memakai bahasa Banjar mungkin bisa ikut mempelajari bahasa Banjar sebagai penambah ilmu. Bahasa Banjar sebenarnya tidak susah asal bisa berbahasa Indonesia, sebab beberapa kalimatnya (bahkan banyak) mirip dengan bahasa Indonesia. Mungkin ini karena bahasa Banjar merupakan satu rumpun dengan bahasa Melayu asli yang kemudian berevolusi menjadi bahasa Indonesia.
Ada juga kata yang sama dengan bahasa Indonesia tetapi cuma vokalnya yang berubah, ini karena pengaruh pola pengucapan oleh orang Banjar. Misalnya, karing = kering, handak = hendak, karas = keras.
Kemudian kata bentukan yang mirip dengan bahasa Indonesia tetapi berubah sedikit karena pengaruh logat berbicara orang Banjar. Misalnya, biarakan = biarkan, sampaiakan = sampaikan, ambilakan = ambilkan.
Selain itu ada penambahan kata yang tidak ada artinya tetapi lebih kepada penekanan arti kata di depannya dalam percakapan. Misalnya, “am” “ai”.
Bila Anda kebetulan mendengar orang Banjar berbicara biasanya kata-kata berikut ini yang terdengar:
  • aku = aku
  • ikam = kamu (bahasa antar sebaya)
  • pian = kamu (bahasa kepada yang lebih tua; sopan)
  • ulun = aku, saya (bahasa kepada yang lebih tua; sopan)
  • nyawa = kamu (bahasa antar sebaya yang sangat akrab; di beberapa daerah Banjar dianggap kasar)
  • unda = aku, saya (bahasa antar sebaya yang sangat akrab; di beberapa daerah Banjar dianggap kasar)
  • kada = tidak
  • indah = tidak (biasanya menyatakan penolakan terhadap ajakan)
  • handak = mau; ingin; hendak
  • lawan = dengan; dan
  • uyuh = letih; lelah
  • lajui; hancapi; cepati; lakasi = cepat-cepat; lekas-lekas; segera (menunjukkan permintaan untuk ~ )
  • kanyang = kenyang
  • nyaman = enak
  • bungul = bodoh
  • bungas; langkar = cantik; tampan
  • lamak = gemuk
(bersambung)
Kada Ulun Biarakan Budaya Banjar Hilang di Dunia !

Sumber: http://kerajaanbanjar.wordpress.com

Sunday, 30 November 2014

KEHIDUPAN MENJADI SEMPURNA DENGAN SASTRA (Pengukuhan Komunitas Sastra (KSI) Batola)

Oleh: HE. Benyamine

Sastra mampu menggambarkan peristiwa dengan sempurna, menjadi sempurna, dan menyentuh diri secara sempurna. Melalui sastra, kehidupan ini lebih dapat dinikmati dengan menghadirkan pemaknaan yang mengarah pada penemuan hikmah pada setiap peristiwanya. Berbicara tentang sastra, begitulah bupati Kabupaten Barito Kuala, H. Hasanuddin Murad, SH., pada acara pengukuhan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Barito Kuala dan Pagelaran Sastra (26 Desember 2011: 20.00) di Panggung Terbuka yang menghadap sungai Barito.

Ungkapan bupati tersebut menunjukkan suatu pemahaman yang luar biasa atas sastra, meski beliau mengaku tidak begitu mengerti dengan sastra, yang memberikan harapan dan spirit pada pertumbuhan dan perkembangan sastra di Batola khususnya. Apa yang dikatakan bupati itu, mungkin dipengaruhi masa kecil beliau, yang memang hidup dengan kegembiraan sastra lisan sebagaimana masa kecil sebagian anak semasa beliau, karena masih sering terdengar senandung syair dan pantun juga bentuk sastra lisan lainnya.

Pada pengukuhan KSI Batola, yang dihadiri beberapa tokoh sastra dari Batola sendiri; Iberamsyah Amandit, H. Roeck Syamsuri Saberi (Ketua DKD Batola), Syarkian Noor Hadie, AA. Ajang, Maskuni, SPd (Ketua KSI Batola terpilih) dan lainnya, juga dari kota Banjarbaru seperti Hamami Adaby, Ali Syamsuddin Arsi, dan Iberamsyah Barbary, dan dari kota Banjarmasin seperti YS. Agus Suseno, Micky Hidayat, Syarifuddin R., dan Burhanuddin Soebely, sungguh terasa suatu perhelatan yang meriah dan menghibur. Dengan panggung sederhana, beberapa tampilan pagelaran sastra tampil memukau, yang seakan mengusik ketenangan arus sungai Barito yang sedang menahan beban pergerakan tongkang batubara yang juga merambat pelan-pelan.

Penampilan penari yang membuka pagelaran sastra membawa hadirin pada pengukuhan percikan keindahan yang terbentang di banua Barito Kuala, penari-penari yang mengalirkan kekuatan dengan cara kelembutan dan keindahan. Para penari mengerti bahwa Barito Kuala mempunyai kemampuan untuk berperan aktif dalam seni budaya, yang saat ini merupakan bagian dari 14 sektor ekonomi kreatif, dengan penampilan mereka yang bertenaga namun lembut.

Tampilan musikalisasi SMAN 1 Marabahan sungguh merasuk dan mengalun dengan lembut, dengan membawakan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya WS. Rendra, terutama saat vokal perempuan (maaf namanya tak tahu; suaramu merdu) menyenandungkan balada tersebut, ada suatu aliran yang tenang dan menjadikan puisi tersebut terasa indah dan terkuat pesannya.

Sedangkan tampilan dramatisasi SMAN 1 Marabahan, yang mengangkat cerpen Sandi Firly berjudul Senja Kuning Di Sungai Martapura, dengan kelemahan sound system sehingga dialognya banyak yang tidak terdengar, secara keseluruhan mampu menghadirkan pertunjukkan yang menarik dan menghibur dengan sesuai dengan cerpennya. Penafsiran yang dramatis dan ditunjang dengan pilihan properti yang baik, tentu saja apa yang mereka tampilkan merupakan harapan yang cerah bagi pertumbuhan dan perkembangan pagelaran sastra di Batola.

Penampilan pembacaan syair, pantun, dan puisi oleh Sanggar Seni MAN 1 Marabahan, juga mampu menunjukkan bahwa sastra lisan tersebut juga menarik untuk ditampilkan sebagai suatu hiburan. Begitu juga dengan seni tradisional Madihin, yang merupakan sastra lisan juga, yang ditampilkan mahasiswa Unlam asal Batola.

Pagelaran sastra yang mengiringi pengukuhan KSI Batola, merupakan suatu petunjuk dan seakan gayung bersambut dengan gagasan Kepala Pariwisatan, Dinas Pemuda dan Olah Raga untuk menyelenggarakan pagelaran seni budaya, termasuk sastra, di panggung terbuka sebulan sekali setiap malam Selasa yang bertepatan dengan Pasar Malam Batola. Gagasan ini merupakan suatu petunjuk bahwa pemerintah daerah menyadari pentingnya memberikan dan menyediakan panggung pertunjukkan seni budaya dalam upaya menghidupkan seni budaya tradisional yang sebenarnya masih menjadi bagian kehidupan warga masyarakat. Apalagi, panggung tersebut di samping rumah dinas bupati, yang memungkinkan bupati berhadir pada waktu tertentu untuk menikmati pertunjukkannya.

Kehadiran bupati Batola pada pengukuhan KSI Batola dan Pagelaran Sastra, dan beliau mengikuti acara hingga selesai yang berakhir pada tengah malam (24.00), menjadikan acara malam itu sebagai sesuatu yang spesial dan bermakna, apalagi kehadiran beliau bukan untuk melantik atau mengukuhkan pengurus terpilih, dan tidak seperti yang umum dalam hajatan sastra yang mana pejabat publiknya pulang setelah acara pembukaan atau setelah mengukuhkan atau melantik. Bupati Batola mengikuti acara pagelarannya terlihat menikmati, dengan rokok kretek yang terus mengepul, dan mungkin saja membayangkan bahwa pagelaran yang sedang beliau saksikan merupakan pertunjukkan yang layak untuk diselenggarakan secara kontinue dan lebih intens; pejabat publik juga butuh mengisi waktu luangnya dengan seni budaya.

Pada jelang tengah malam, para penyair hebat, tampil membacakan puisi, mereka adalah Iberamsyah Amandit dengan puisi beliau sendiri; Mamang Borneo, yang menghentak relung-relung hati penonton, bait terakhirnya, “Usir maling-maling itu, usir maling-maling itu/usir maling-maling itu” sebagai penutup yang menyergap jiwa untuk melawan perampokan tanah Borneo oleh keserakahan, lalu dilanjutkan Hamami Adaby dengan membawakan karya Hanna Fransisca, berikutnya Ali Syamsuddin Arsi si “Gumam” yang terlihat agak ringan dan santai namun tetap menyentak, lalu Mecky Hidayat dengan puisi adaptasi dari novel Rumah Debu, yang begitu kuat dan penuh daya dalam melihat kondisi pertambangan yang serakah dan tak berhati, dan ditutup oleh YS. Agus Suseno dengan syair tentang Batola dan harapannya ke depan dengan suara yang mengalun layaknya aliran sungai Barito; tenang dan damai.

Pembacaan puisi berlanjut dengan didaulatnya Bupati, Sekda, dan Kepala Dinas yang telah dipersiapkan beberapa puisi untuk mereka pilih sendiri. Bupati Batola ternyata memilih puisi dengan judul Petani karya Iberamsyah Amandit, itupun tebakan bupati karena dibuatnya di Tamban sebagai tempat tinggal penulisnya. Pilihan bupati atas puisi itu dijelaskan beliau karena sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Batola, dan peradaban awal saja dimulai dengan pertanian, yang merupakan suatu harapan dirinya untuk kemajuan Batola berbasis pertanian yang lebih maju, baik untuk petani sendiri maupun produk yang dihasilkannya. Di sini, bupati perlu mempertimbangkan kembali perluasan perkebunan sawit skala besar, karena akan berhadapan petani-petani dengan penghidupannya, tentu saja hal ini menjadi pemikiran beliau dalam hal sawit ini.

Sedangkan Sekda membacakan dengan penuh semangat, dan ternyata beliau dapat dikatakan sebagai pembaca puisi yang berbakat, ada kejutan yang menghentak dan menyentak kesadaran penonton. Begitu juga dengan Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga yang dengan tenang menyelusup dengan suara beratnya. Mungkin, para pejabat publik seperti di atas perlu berhadir dan membacakan puisi, yang menjadi pelepasan beban pekerjaan dan tugasnya sebagai pejabat publik, selain tempat hiburan yang umum seperti karaoke atau lainnya.

Akhirnya, apa yang dikatakan Bupati dalam sambutannya di atas merupakan angin kebahagiaan bagi dunia sastra khususnya di Batola, apalagi beliau menambahkan bahwa melalui sastra membuat kritik lebih mudah diterima, sekeras apapun kritik itu, karena hal itu dilakukan oleh orang-orang yang penuh perenungan dan intelektual yang lurus. Apa yang disampaikan bupati merupakan suatu hal menarik untuk direnungkan bersama, karena sastra memang lebih sempurna dalam menggambarkan peristiwa dan keadaan, dan kritik dengan tulisan adalah peradaban yang maju.

Sumber : http://penyairkalsel.blogspot.com/

Saturday, 29 November 2014

Budaya Banjar

Assalamu'alaikum,
Saya ingin memberitahukan apa saja itu panjapinan, madihin, dan bakisah(bakesah)..

Disimak ya...

1.    Panjapinan
Panjapinan merupakan teater rakyat tradisional yang tumbuh dan berkembang di Kalimantan Selatan berasal dari pengembangan tari dan musik japin. Biasanya Japin Carita ini dibawakan untuk meramaikan malam pengantin dan hari besar Islam. Jenis Teater ini boleh dibilang hampir punah karena sudah sangat jarang dimainkan. Grup kesenian yang masih bisa memainkannya antara lain, Grup Teater Banjarmasin dan La Bastari Kandangan
Pada tahun 1900, di Banjarmasin telah mengenal Japin Arab, yang ditarikan oleh suku Arab di perkampungan Arab. Japin Arab berpengaruh besar masyarakat sekitar, yakni Kampung Melayu, Kuin, Alalak, Sungai Miai, Antasan Kecil, Kalayan, Banyiur. Sampai dengan tahun 1960 di Banjarmasin lebih dari sepuluh orkes Japin lengkap dengan tari-tarian Japin yang langkah-langkahnya agak mirip dengan Japin Arab. Tahun 1961 di kampung Sungai Miai dipergelarkan Japin yang berisi tari Japin dilanjutkan dengan sebuah cerita. Pada tahun 1975 dari dari Tapin menyebutkan bahwa ditemukan Japin bercerita di Kampung Binuang Dalam. Informasi sebelumnya didapatkan pada tahun 1958 terdapat pergelaran Japin Bakisah di Margasari.
Dengan demikian, panjapinan  muncul pada tahun 1958 dan tidak diketahui siapa pencetusnya. Yang jelas, bahwa panjapinan adalah perkembangan dari Tari dan musik Japin pesisiran. Diperkirakan lahir di Banjarmasin karena pengaruh tonil/sandiwara dan komedi bangsawan kemudian berpengaruh pada masyarakat Badamuluk di Margasari.
2.    Madihin
Kesenian madihin memiliki kemiripan dengan kesenian lamut, bedanya terdapat pada  cara penyampaian syairnya. Dalam lamut syair yang disampaikan berupa sebuah cerita  atau dongeng yang sudah sering didengar dan lebih mengarah pada seni teater dengan adanya pemain dan tokoh cerita. Sedangkan lirik syair dalam madihin sering dibuat secara spontan oleh pemadihinnya dan lebih mengandung humor segar yang menghibur dengan nasihat-nasihat yang bermanfaat.
Menurut berbagai keterangan asal kata madihin dari kata madah, sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia karena ia menyanyikan syair-syair yang berasal dari kalimat akhir bersamaan bunyi. Madah bisa juga diartikan sebagai kalimat puji-pujian (bahasa Arab) hal ini bisa dilihat dari kalimat dalam madihin yang kadangkala berupa puji-pujian. Pendapat lain mengatakan kata madihin berasal dari bahasa Banjar yaitu papadahan atau mamadahi (memberi nasihat), pendapat ini juga bisa dibenarkan karena isi dari syairnya sering berisi nasihat.
Asal mula timbulnya kesenian madihin sulit ditegaskan. Ada yang berpendapat dari kampung Tawia, Angkinang, Hulu Sungai Selatan. Dari Kampun Tawia inilah kemudian tersebar keseluruh Kalimantan Selatan bahkan Kalimantan Timur. Pemain madihin yang terkenal umumnya berasal dari kampung Tawia. Ada juga yang mengatakan kesenian ini berasal dari Malaka sebab madihin dipengaruhi oleh syair dan gendang tradisional dari tanah semenanjung Malaka yang sering dipakai dalam mengiringi irama tradisional Melayu asli.
Cuma yang jelas madihin hanya mengenal bahasa Banjar dalam semua syairnya yang berarti orang yang memulainya adalah dari suku Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan, sehingga bisa dilogikakan bahwa madihin berasal dari Kalimantan Selatan. Diperkirakan madihin telah ada semenjak Islam menyebar di Kerajaan Banjar lahirnya dipengaruhi kasidah.
Pada waktu dulu fungsi utama madihin untuk menghibur raja atau pejabat istana, isi syair yang dibawakan berisi puji-pujian kepada kerajaan. Selanjutnya madihin berkembang fungsi menjadi hiburan rakyat di waktu-waktu tertentu, misalnya pengisi hiburan sehabis panen, memeriahkan persandingan penganten dan memeriahkan hari besar lainnya.
Kesenian madihin umumnya digelarkan pada malam hari, lama pergelaran biasanya lebih kurang 1 sampai 2 jam sesuai permintaan penyelenggara. Dahulu pementasannya banyak dilakukan di lapangan terbuka agar menampung penonton banyak, sekarang madihin lebih sering digelarkan di dalam gedung tertutup.
Madihin bisa dibawakan oleh 2 sampai 4 pemain, apabila yang bermain banyak maka mereka seolah-olah bertanding adu kehebatan syair, saling bertanya jawab, saling sindir, dan saling kalah mengalahkan melalui syair yang mereka ciptakan. Duel ini disebut baadu kaharatan (adu kehebatan), kelompok atau pemadihinan yang terlambat atau tidak bisa membalas syair dari lawannya akan dinyatakan kalah. Jika dimainkan hanya satu orang maka pemadihinan tersebut harus bisa mengatur rampak gendang dan suara yang akan ditampilkan untuk memberikan efek dinamis dalam penyampaian syair. Pemadihinan secara tunggal seperti seorang orator, ia harus pandai menarik perhatian penonton dengan humor segar serta pukulan tarbang yang memukau dengan irama yang cantik.
Dalam pergelaran madihin ada sebuah struktur yang sudah baku, yaitu:
a)      Pembukaan, dengan melagukan sampiran sebuah pantun yang diawali pukulan tarbang disebut pukulan pembuka. Sampiran pantun ini biasanya memberikan informasi awal tentang tema madihin yang akan dibawakan nantinya.
b)      Memasang tabi, yakni membawakan syair atau pantun yang isinya menghormati penonton, memberikan pengantar, ucapan terima kasih dan memohon maaf apabila ada kekeliruan dalam pergelaran nantinya.
c)      Menyampaikan isi (manguran), menyampaikan syair-syair yang isinya selaras dengan tema pergelaran atau sesuai yang diminta tuan rumah, sebelumnya disampaikan dulu sampiran pembukaan syair (mamacah bunga).
d)      Penutup, menyimpulkan apa maksud syair sambil menghormati penonton memohon pamit ditutup dengan pantun penutup.
Saat ini pemadihin yang terkenal di Kalimantan Selatan adalah John Tralala dan anaknya Hendra.
Di kalangan masyarakat suku Banjar mendengarkan cerita rakyat merupakan ciri khas tersendiri. Dalam kehidupan sehari-hari cerita rakyat disampaikan oleh mereka yang telah berusia atau para orang tua kepada anak-anaknya. Pesan-pesan yang disampaikan berupa nasehat dan perumpamaan, harapan-harapan dan lain sebagainya. Mereka langsung menunjukkan mana yang patut diteladani atau dicontoh dan mana yang patut ditinggalkan atau dijauhi dalam mengarungi bahtera kehidupan seperti tersirat dalam cerita yang mereka ungkapkan. Jadi cerita yang dituturkan salah satu cara menanamkan nilai-nilai luhur tradisi Banjar pada kehidupan.
Tradisi bercerita pada suku Banjar tidak hanya dituturkan di lingkungan keluarga atau rumah tangga saja, tetapi ada juga pada masyarakat luas. Seni bercerita di tengah masyarakat umum ini populer disebut BAKISAH. Orang yang membawakan cerita dinamakan Tukang Kisah.
Mereka yang berprofesi sebagai Tukang Kisah ini sering dipanggil ke berbagai daerah untuk menuturkan koleksi cerita mereka. Kegiatan Bakisah umumnya dilakukan pada malam hari. Cerita yang mengandung pesan moral sering diselingi humor untuk menyegarkan suasana. Secara umum isi pesan berkisar tentang aspek kehidupan bermasyarakat, sikap anak terhadap orang tua, antar sesama dan sopan santun dalam pergaulan.
Fungsi utama Tukang Kisah memberikan contoh-contoh kehidupan antara yang baik dan  buruk menurut adat istiadat yang disusun dalam bentuk cerita menarik. Keahlian Tukang Kisah menentukan sampai atau tidak pesan yang diselipkan dalam sebuah cerita. Dahulu untuk hiburan rakyat sering dipanggil Tukang Kisah untuk mengisi berbagai acara keramaian di masyarakat Banjar.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Selatan melalui Sub Dinas Kesenian beberapa tahun ini rutin melestarikan kesenian ini dengan acara tahunan Lomba Bakisah Bahasa Banjar. Dalam lomba ini biasanya peserta mengeluarkan seluruh kemampuannya, selain isi ceritanya menarik disampaikan dengan logat Banjar kental, kostum dan gerak tubuh yang unik sering mereka tampilkan pula.

Sumber: http://jannahpathul.blogspot.com